Indonesia atau Nusantara? (Ngabuburead #7)
Kamu pilih Indonesia atau Nusantara?
Indonesia itu terdiri dari ribuan pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bahkan dari tujuh belas ribuan pulau,
hampir sepuluh ribunya belum memiliki nama. Itulah kenapa Indonesia dikenal
dengan sebutan Nusantara. Tapi, kamu tahu nggak darimana asal kata Nusantara?
Sejarah nama “Indonesia” merupakan bagian yang menarik untuk
dipelajari, mengingat nama Indonesia sendiri bukanlah nama yang berasal dari
salah satu bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada banyak versi
mengenai sejarah nama Bangsa ini berasal. Dan awal yang pernah dicatatkan oleh
sejarah adalah James Richardson Logan pada tahun 1850 dalam sebuah buku yang
berisi mengenai “Ilmu bumi”. Istilah Indonesia juga digunakan dalam buku ilmu
bumi yang lain oleh G.W Earl dengan menyebutkan gugusan pulau yang ada pada
sebelah tenggara Benua asia dengan sebutan Indonesians dan Melayunesians untuk daerah yang dihuni oleh penduduk Melayu. Sedang
pada tahun 1884 Adolf Bastian seorang berkebangsaan Jerman juga
menggunakan istilah ini dalam bidang Etnologi.
Nama Indonesia sendiri berasal dari kata Latin indus yang berarti
Hindia dan kata Yunani nesos yang berarti
pulau, nesioi (jamak) berarti pulau-pulau. Secara Etimologi Indonesia adalah
Gugusan Pulau-pulau-pulau Hindia.
Pada masa kolonialisme
Belanda, Nama Hindia Belanda digunakan sebagai tanda bahwa negara ini berada
dibawah kekuasaan Belanda. Nama Indonesia pertama kali digunakan oleh
Organisasi pelajar bangsa ini justru digunakan di Negara Lain, yakni Belanda.
Organisasi belanda yang bernama Indische Vereeniging yang merupakan Organisasai
perhimpunan pelajar Indonesia berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging
pada tahun 1922, selanjutnya secara berubah nama Menjadi Perhimpunan Indonesia.
Puncak penggunaan Nama
Indoensia Secara Resmi pertama kali Dikumandankan dengan Lantang sebagai bentuk
Bangsa yakni pada Kongres Pemuda ke II di Jakarta pada tanggal 28 Okotober 1928
yang sekarang ini dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda. Hari yang merupakan
tonggak pergerakan utama bangsa ini menuju kemerdekaan. Sedangkan secara Resmi
nama Indoneisa digunakan sebagai nama Sebuah Bangsa yang bernegara pada tanggal
17 Agustus 1945 dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sekilas Alur Sejarah Dunia Mengenal kata “Indoneisa”
:
1) Bangsa
Tionghoa : mengenal Indonesia sebagai “Nan-Hai” artinya Kepulauan Laut Selatan.
2) Bangsa
India : mengenal dengan nama “Dwipantara” yang artinya Kepulauan Tanah Seberang,
nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya
pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta,
istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau
Emas", diperkirakan Pulau Sumatra sekarang) yang terletak
di Kepulauan Dwipantara.
3) Bangsa
Arab : Jaza'ir al-Jawi, Bangsa Arab juga menyebutkan pulaunya sebagai Smathrah
(sumatera), Sholibis (sulawesi), Sundah (sunda) dan Kulluh Jawi (semua jawa).
Sampai sekarang biasanya jamaah haji dari indonesia tetap dipanggil “orang Jawa”.
4) Bangsa
Eropa menyebutnya dengan berbagi nama yakni, Indische Archipel, Indian
Archipelago, Archipel Indien, Indes Orientales dan Maleische Archipel, Malay
Archipelago atau kepaluan Melayu.
5) Bangsa
Belanda menggunakan Nama Nederlandsch-Indie (Hindia belanda) untuk nama di
pemerintahan dibawah kekuasaan kerajaan Belanda.
6) Insulinde
“insulin” (pulau) oleh dawes dekker sekitar pertengahan abad ke 18
7) George
Windsor Earls pada tahun 1849 seorang ahli etnologi juga menggunakan nama “Indunesia”
untuk Kepulauan Hindia dulu dan “Malayunesia” untuk Kepulauan Melayu.
8) Untuk
pertama kalinya pada tahun 1884 kata Indonesia muncul di dunia dengan
tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
9) Pribumi
yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
10) Buku
Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau
Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") terbit pada tahun 1826-1905. Ternyata
sang penulis Adolf Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari
tulisan-tulisan Logan. Sampai-sampai dikira dia yang awal mencetuskan nama “Indonesia”.
11) Nama
Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan
sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti
dengan Indonesiër ("orang Indonesia").
12) Bangsa
Jepang menggunakan nama To-Indo (Hindia Timur) 1942 sebagai sebutan daerah
jajahannya.
Sedangkan menurut sejarah bangsa sendiri mencatatkan nama
Indonesia dengan sebutan “Nusantara” yang di ambil dari bahasa Jawa Kuno, Yakni Nusa yang berarti
Pulau-pulau sedangkan Antara adalah
hubungan. Nusantara sendiri
berarti adalah gugusan atau rangkaian pulau-pulau. Nama Nusantara ini semakin
populer setelah Patih Gajah Mada Mengikrarkan Sumpah Palapa yang berisi
mempersatukan seluruh nusantara dibawah pemerintahan Kerajaan Majapahit Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16).
Nusantara dulu menggambarkan
kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan
Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak mencakup Filipina.
Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan
Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19
sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.
Nusantara sekarang merupakan
istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra sampai Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan
wilayah negara Indonesia.
Nusantara
dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit.
Dalam konsep kenegaraan Jawa pada abad
ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa": raja yang memerintah
adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan konsep
kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan.
Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah:
1) Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota
kerajaan tempat raja memerintah.
2) Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan
sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di
"daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali
adalah daerah "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga dianggap
daerah "mancanegara".
3) Nusantara, yang berarti "pulau lain"
(di luar Jawa)[2] adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih
diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti.
Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah
Palapa: Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira
Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.
Terjemahannya adalah: "Dia Gajah
Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika
telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Kitab Negarakertagama mencantumkan
wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan
mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa
Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan
Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan
sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata
majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuno nusa ("pulau") dan antara
(lain/seberang).
Tanpa terlepas dari sejarah ada beberapa orang yang memiliki pendapat untuk mengusulkan
penggantian nama “Indonesia” menjadi “Nusantara”. Bukan tanpa alasan, seperti
dari seorang penggiat metafisika bernama Arkand Bodhana Zeshaprajna.
Menurut beliau, nama Indonesia dalam dunia
metafisika tidak memberi energi yang positif bagi bangsa ini. Beliau yang sudah
menekuni dunia metafisika selama lebih 20 tahun ini meyakini nama Nusantara
akan membuat nasib bangsa ini lebih baik.
Menurut beliau, banyak kebudayaan di dunia yang
mengganti nama seseorang yang sering sakit pada masa anak-anak. Begitupun
dengan negara, jika bangsanya sering sakit-sakitan, maka mengganti nama negara
bisa jadi solusi.
Lalu apa alasan Arkand merubah nama Indonesia menjadi Nusantara? Berikut
lima penjelasan Arkand tentang pentingnya arti sebuah nama.
1. Nama adalah ideasi dan energi
Ungkapan apalah arti sebuah nama tidak berlaku
bagi Arkand Bodhana Zeshaprajna. Bagi pria yang telah menggeluti dunia
metafisika ini, nama mengandung ideasi dan energi bukan sembarang sebutan.
“Nama dibutuhkan untuk memanggil seseorang atau objek. Nama bukanlah
sekadar kata atau kumpulan kata, melainkan mengandung ideasi dan energi. Ilmu
fisika menyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa
dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk
nama,” ujar Arkand Bodhana Zeshaprajna dalam situsnya http://arkand.com/ yang
dikutip merdeka.com.
Dalam pandangan metafisika Arkand, nama
Indonesia untuk penyebutan republik ini dinilai tidak tepat. Dia pun
mengusulkan agar nama Republik Indonesia diganti dengan Nusantara, penyebutan
yang sudah sering digunakan di zaman Majapahit.
2. Nama Indonesia Hanya Punya Synchronicity Value sebesar 0.5
Arkand Bodhana Zeshaprajna mengusulkan nama
negara Indonesia dengan Nusantara. Dalam pandangan metafisika, nama Indonesia
hanya memiliki Synchronicity Value sebesar 0.5. Synchronicity Value adalah
paramater dalam Arkand secret code untuk menganalisa sebuah nama.
Menurut Arkand, rentang Synchronicity Value
berada di kisaran 0,05 hingga 1,0. Sedangkan Synchronicity Value yang positif
berada di angka 0,8 hingga 1,0. Nama Indonesia sendiri kata Arkand hanya
memiliki Synchronicity Value 0,5.
“Bahwa negara-negara maju memiliki struktur
nama yang berkualitas baik dan negara-negara yang belum juga maju dan tetap
miskin memiliki struktur nama yang berkualitas rendah,” tulis Arkand dalam
situsnya, Arkand.com yang dikutip merdeka.com.
3. Coherence Value 0.2
Paramater lain yang digunakan Arkand adalah
Coherence Value. Coherence Value menunjukkan struktur kode-kode dalam diri
sendiri yang saling berkaitan satu dengan kode yang lainnya. Rentang Coherence
Value berada di kisaran 0,1 hingga 1,0. Sedangkan nilai positifnya di kisaran
0,7 hingga 1,0.
Dari pengamatan Arkand, Indonesia hanya
memiliki Coherence Value sebesar 0,2. Hal ini jauh dari bagus sehingga nama
Indonesia harus diganti dengan nama yang lebih baik, yakni Nusantara.
Coherence Value dalam kehidupan bisa dilihat
dari cara seseorang atau negara menguasai satu atau beberapa keahlian. Semakin
tinggi Coherence Value tingkat penguasaan terhadap keahlian semakin baik.
4. Nama Indonesia pemberian bangsa lain
Menurut Arkand, kata Indonesia bukan berasal
dari orang Indonesia atau pribumi. Hal ini membuat perjalanan bangsa kini
menjadi terseok-seok.
James Richardson Logan pada tahun 1850 menulis
artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (Etnologi dari Kepulauan
Hindia). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan kesetujuannya tentang
perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian
Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang
sebelumnya diperkenalkan oleh George Samuel Windsor Earl, seorang ahli etnologi
bangsa Inggris. Oleh Logan, huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya
lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Dan itu membuktikan bahwa sebagian
kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian,
sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
“Asal-usul kata yang ternyata bukanlah hasil
karya putra bangsa dan struktur kata yang ternyata tidak baik, yang terbuktikan
dengan kondisi bangsa dan negara hingga saat ini yang semakin buruk
membangkitkan pemikiran untuk mengganti nama negara Indonesia,” ujar Arkand.
5. Indonesia sering sakit-sakitan
Menurut Arkand, banyak kebudayaan di dunia yang
mengganti nama seseorang yang sering sakit pada masa anak-anak. Begitupun
dengan negara, jika bangsanya sering sakit-sakitan, maka mengganti nama negara
bisa jadi solusi.
“Jika di banyak budaya di dunia yang mengganti
nama seseorang yang sering sakit pada masa anak-anak melalui pendekatan budaya
dan religiusitas, maka saat ini kita mendekatinya juga melalui pendekatan
budaya, religiusitas dan ilmu pengetahuan. Tiga pendekatan ini menemukan satu
kata: Nusantara,” tutup Arkand.
JADI GIMANA? MASIH MAU BELAJAR TENTANG NUSANTARA?
Komentar
Posting Komentar