Kudeta Merangkak, Awal Neokolonialisme Plus Kapitalisme (Ngabubured #4)

"Kudeta Merangkak, Awal Neokolonialisme Plus Kapitalisme"

Sang Penyambung Lidah Rakyat, kekuasaannya menjadi kelu di tangan “The Smiling General” Soeharto. Sang Jenderal menginginkan perubahan era dari Soekarno menuju babak baru Soeharto.
Momentum Gestapu (Gerakan September 30) dimanfaatkan guna menyatukan kelompok antikomunis dan menjadikan PKI sebagai “kambing hitam” kudeta. Sejak peristiwa itu pun posisi Soekarno sebagai presiden makin melemah.
6 Oktober 1965, Soekarno rapat dengan Kabinet Dwikora guna membicarakan peristiwa G30S. Dalam rapat itu, turut hadir perwakilan PKI yang dituding melatarbelakangi peristiwa tersebut, yakni Njoto dan MH Lukman. Njoto pun menyatakan bahwa PKI tidak terlibat dan ini adalah masalah internal AD (Angkatan Darat).
Rapat tersebut disiarkan TVRI, menampilkan Soekarno yang bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Presiden tampak tenang dan tersenyum, sembari merokok dan guyon dengan para wartawan. Ratna Sari (istri Soekarno) yang menonton siaran tersebut menjadi gusar karena melihat sikap Soekarno.
Sikap tenang, tersenyum, bahkan guyon oleh Soekarno membuat Ratna memperingatkan suaminya melalui surat. Ratna memperingatkan presiden, bahwa sikap yang ditunjukkan Soekarno pada publik dapat disalahartikan. Terlebih Soekarno tidak hadir dalam pemakaman para jenderal.
Soekarno menanggapi surat Ratna dengan mengatakan, bahwa ia tersenyum karena ingin menunjukkan bahwa dirinya aman dan situasi terkendali. Bung Karno juga ingin memberikan kekuatan dan kepercayaan kepada rakyat Indonesia.
Namun, benar saja, maksud baik sang presiden tidak tersampaikan dengan baik. Kabar burung atas keterlibatan presiden dalam G30S mulai terdengar, dan sejak itu Soekarno tak lagi punya kendali penuh atas politik.
10 Oktober 1965, Soeharto membentuk Kopkamtib dan menjadikan dirinya sebagai panglima. Kopkamtib pun melancarkan misinya: PKI dibumihanguskan; seluruh anggota dan simpatisannya ditangkap; beberapa anggota dihukum mati/dibunuh.
Soeharto juga menyingkirkan anggota PKI dari jajaran pemerintah.
Sebanyak 1.334 orang ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Dan diperkirakan 400.000 anggota dan simpatisan partai telah dibunuh tentara atau anggota ormas yang berafiliasi dengan musuh politik PKI.
Peristiwa ini juga menjadi “aji mumpung” Soeharto untuk mempercepat gerakan kudeta. Sebab Soekarno bertumpu pada dua kekuatan politik besar, yakni ABRI dan PKI. Keduanya sangat berpengaruh dalam menciptakan demokrasi terpimpin sejak 1959.
Pemberantasan PKI menyebabkan Soekarno harus “berebut” kekuasaan dengan tentara. Tak heran bila makin lama ia makin diabaikan. Hal itu juga terlihat pada kemunculan Supersemar yang memberikan Soeharto mandat untuk menjamin jalannya pemerintahan dan menjaga keselamatan presiden.
Sayangnya, Supersemar punya kekuatan yuridis yang mengikat semua orang. Presiden sekalipun tak dapat mencabutnya, ketika ditetapkan sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966. Hari itu juga, Presiden Soekarno resmi dicabut sebagai presiden seumur hidup.
Sementara itu, Soeharto diperintahkan MPRS membentuk kabinet baru. Kabinet baru ini terpaksa disetujui Soekarno, setelah ke-15 menteri loyalisnya ditangkap.
Soeharto telah berhasil memanfaatkan Gestapu hingga mandat Supersemar. Jenderal itu mengambil panggung dan mengasingkan Soekarno. Di sisi lain, Soekarno masih berusaha memberikan pertanggungjawabannya sebagai presiden (per 10 Januari 1967) yang kemudian tetap ditolak oleh MPRS.
Hingga pertanggungjawabannya Soekarno dilengkapi dengan surat “Pelengkap Nawaksara” yang berisi alasan terjadinya G30S, yakni: keblingernya para pemimpin PKI, keahlian subversi neokolonialisme dan neoimperialisme, dan adanya oknum tidak benar. Namun, Nawaksara pun ditolak oleh MPRS.
9 Februari 1967, DPR mengajukan sidang MPRS untuk memberhentikan Soekarno sebagai presiden.
Kemudian, 20 Februari 1967, Soeharto meyakinkan Soekarno dan para pendukungnya bahwa kekuasaan Bung Besar Revolusi telah usai. Soekarno pun bersedia menyerahkan kekuasaan dan mundur dari jabatan.
Namun, Soeharto tetap menginginkan adanya penyerahan kekuasaan secara konstitusional. Soekarno pun tanpa daya menyerahkan kekuasaan eksekutif pada 22 Februari 1967. TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967 pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan menetapkan Soeharto sebagai presiden.
Ini kematian karier politik Soekarno, yang disusul oleh kepemimpinan Soeharto dengan segala kebijakan yang bertolak belakang. Soeharto apik menyelesaikan kudeta merangkaknya. Segala upayanya seolah mendapatkan dukungan Presiden RI Pertama. G30S pun berhasil dikambinghitamkan.
Setelah berkuasa, Soeharto memerintahkan Soekarno dan keluarga untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967. Presiden Pertama RI itu pun keluar istana hanya mengenakan kaos oblong dan celana piyama.
Soekarno berganti status menjadi tahanan Orba, karena tudingan keterlibatan G30S.
Awalnya hanya menjadi tahanan rumah, sebelum akhirnya ditahan di Wisma Yasoo. Penahanan itu berdampak buruk bagi kesehatan Soekarno, sementara tim dokter kepresidenan telah dibubarkan Soeharto.
Namun, buruknya kondisi kesehatan Soekarno tidak memengaruhi proses pemeriksaan yang dijalankan Kopkamtib. Ia juga dijaga ketat oleh tentara dan terisolasi. Soeharto bahkan memberlakukan izin khusus kepada anak dan istri Soekarno bila ingin berkunjung ke Wisma Yasoo.
Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta 1966-1977) yang pernah berkunjung ke Wisma Yasoo turut memberikan kesaksian. Kata Ali, keadaan tempat itu sangat buruk dan kotor. Ruangannya kotor. Kebunnya tidak terurus.
“Saya menjadi amat sedih. Pikiran saya, kok, mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau pemimpin bangsa itu diperlakukan seperti itu. Saya yakin, beliau pasti menderita. Apakah itu disengaja? Masa ada yang sengaja berbuat begitu,” kata Ali dalam Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH.
Pada 6 Juni 1970, di hari ulang tahun Soekarno ke-69, anak-anaknya berkunjung ke Wisma Yasoo. Tidak ada kemeriahan pesta, bunga, atau hadiah. Hanya ada sebuah keluarga yang menghadapi sang ayah, dengan kondisi makin ambruk karena penyakit fisik dan mentalnya.
11 Juni 1970, Soekarno dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisinya sangat memburuk. Setelah beberapa hari dirawat, ia bertemu dengan Mohammad Hatta. Keduanya berada dalam pertemuan yang mengharukan, saling berpegangan dan tenggelam dalam tangisan.
Saat Hatta berkunjung, Ratna Sari Dewi pun dikabarkan akan hadir menjenguk. Sayangnya, kedatangan perempuan Jepang itu tertahan di Singapura karena Soeharto BELUM mengizinkan kunjungan.
Hingga 12 Juni 1970, Ratna baru berhasil memperoleh izin dan bertemu Soekarno.
Ratna Sari Dewi datang bersama putrinya Kartika Sari Dewi (anak kandung Soekarno). Bapak dan anak itu belum pernah bertemu sebelumnya. Saat mereka bertemu, Soekarno dalam kondisi setengah sadar. Ia berusaha menggapai putrinya, namun ia tak berdaya.
Setelah kedatangan Hatta, kemudian esoknya disusul Dewi dan Kartika, kesadaran Soekarno berangsur hilang hingga ia koma.
Tepat pada tanggal 21 Juni 1970, Soekarno pun wafat. Namun kematiannya tidak sampai menghentikan perilaku kasar rezim Orde Baru.
Soekarno pernah berwasiat ingin dikubur di bawah pohon rindang di Bogor. Namun Soeharto tak mau mengizinkan. Soeharto berdalih bahwa pemakaman di Blitar dilakukan agar dekat dengan mendiang ibu Soekarno.
Namun, juga menjadi alasan logis bila penempatan makam pun dianggap pelik oleh Soeharto. Sebab, lokasi pemakaman yang jauh dari Jakarta tentu akan menghambat politisasi para pendukung Soekarno.
Soekarno Sang Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno di masa tua yang malang. Sudah mati pun dirimu tetap jadi ketakutan bagi Si Jenderal.

Selamat jalan, Bung Besar. Semoga kami mampu melahirkan Indonesia yang kaucita-citakan.

Komentar

Postingan Populer