Bersainglah Dengan Elite Global, Jangan Elite Lokal! (Ngabuburead #6)
Bersainglah Dengan Elite Global, Jangan Elite Lokal!
Pengangguran
dari kalangan jebolan perguruan tinggi meningkat, siapa yang ketar ketir
menghadapi kondisi ini? Badan Pusat Statistik (BPS) pernah merilis data Jumlah
angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta
orang dibanding Februari 2018. Sejalan dengan naiknya jumlah angkatan kerja,
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat sebesar 0,12 persen
poin.
Kata isi data itu sih ada tiga sebab kenapa
pengangguran meningkat. Pertama, keterampilan tidak dibutuhkan. Kedua,
ekspektasi penghasilan dan status lebih tinggi. Ketiga, penyediaan lapangan
kerja yang terbatas.
Fakta itu menjadi momok kecemasan bagi
mahasiswa yang punya preferensi untuk bekerja selepas masa kuliah, sementara
mereka tidak punya sosok yang bisa diandalkan (orang dalam).
Anda boleh cemas dan itu sah saja. Sebab anak
dari ketua partai politik bisa dengan mudah bertengger di parlemen atau menjadi
wakil menteri, atau anak dari seorang pemilik perguruan tinggi bisa bercokol
menjadi rektor.
Orang awam tentu terkejut dan terheran-heran
sambil berharap, “Apakah mungkin nasib baik itu bisa terjadi pada keturunan
saya?”
Di era saling berebut ruang dan berebut makan
seperti sekarang, hal apa saja yang berkaitan dengan kepemilikan atas akses
bisa saja terjadi dan itu menjadi wajar jika orang awam ketar-ketir, sebab nol
akses dan nol peluang.
Soal seberapa muda atau bahkan seberapa dini
jam terbang itu urusan belakangan. Sebab, tak sedikit fakta yang menunjukkan
bahwa anak cerdas/jenius di usia dini bisa bersaing dengan orang yg lebih
dewasa.
Ya, ini soal keresahan. Keresahan setiap orang
yang berusaha mati-matian untuk berpendidikan tinggi dan hasilnya hanya menjadi
bagian dari barisan pelamar kerja. Keresahan setiap orang yang berusaha
bertahan hidup dengan bekal ijazah, lalu berbondong-bondong mengantre di job
fair bahkan sampai rela terinjak-injak.
Betul, Anda ada dalam wahana
persaingan. Meski kenyataan hidup di era kapitalisme global
semenyakitkan itu, namun satu hal yang tidak boleh kita hilangkan, yakni
rasionalitas dalam memilih.
Era kapitalisme global bukan saja menghendaki
orang-orang terdekat untuk menjabat menjadi apa saja yang menguntungkan,
melainkan menghendaki terbatasnya akses dan kesempatan yang sama untuk hadir di
setiap orang. Mengapa demikian? Sebab, hal-hal yang dianggap sebagai
keberuntungan bisa saja melekat pada siapa saja yang memiliki kapital alias
modal.
Ini bukan ujaran kegelisahan. Tapi, kondisi ini
bukanlah fase yang baik untuk bayi yang sedang dalam kandungan.
Generasi yang kalah secara akses berpotensi
dicetak oleh para orangtua untuk menjadi pribadi yang mampu mengepul uang atau
kekayaan dalam waktu singkat. Bahkan kalau perlu, jika ada seminar menjadi kaya
raya dalam waktu seminggu, kemungkinan juga akan disarankan untuk terlibat
aktif.
Kemiskinan akut memang terkadang menjadi sumber
kecurigaan itu. Namun, sadarkah kita dari mana hulu kemiskinan akut itu?
Akarnya ada pada ketimpangan.
Wajar saja ujaran atas kebencian meningkat, dan
nyinyiran terhadap kelompok yang lebih kaya akan terus ada dan berlipat ganda.
Sebab, ketimpangan itu benar-benar nyata.
Ketimpangan ekonomi dan sektor pendapatan
mengisyaratkan tingginya angka keterbukaan terhadap akses. Sementara,
ketimpangan sosial akan memengaruhi keadaban masyarakat kita. Kemudian,
ketimpangan akses di dunia politik berpotensi menghambat sosok-sosok terbaik
dalam partai untuk bisa memimpin, lantaran wacana demokratis di tubuh partai
politik sendiri mandek.
Mungkin, beberapa di antara kita ada yang tidak
sependapat soal “lantaran kebesaran orangtua, maka kesuksesan itu ada di depan
mata”. Ya, sah saja. Pendapat itu tak sepenuhnya bisa disalahkan, namun fakta
itu tidak sepenuhnya juga bisa disangkal.
Sepertinya memang sudah saatnya memilih cermin
yang pas untuk berkaca. Artinya, jika indikator yang diletakkan pada kesuksesan
adalah sepaket jabatan, berhentilah melihat kedudukan dari keuletan dan
kegigihan bekerja. Sebab, jika demikian, apakah tukang sayur bangun tidurnya
kurang pagi dan pulangnya kurang larut malam dibanding seorang anggota dewan?
Ini juga bukan soal “kita kembalikan pada
pribadi masing-masing lah ya”, bukan! Ini soal sempitnya akses dan ketimpangan
yang membuat orang tidak punya banyak pilihan selain bertahan hidup dengan
menjadi seorang (calon) pekerja.
Komentar
Posting Komentar